Don’t Limit Your Challenges, Challenge Your Limit.

..

Jumat, 02 Desember 2011

Cerpen Ghyta


Blackforest Terakhir
Oleh : Indri Sagita F
“Surprise…!!!”, degup jantung Keisha berhenti secara tiba-tiba, mendengar suara riuh di sekelilingnya. Teng...teng...teng... jam dinding semakin membisingkan suasana, yang berarti saat itu tepat pukul 00.00 WIB. “Happy birthday Keisha, happy birthday Keisha...“, lantunan syair lagu itu terucap dari sahabat-sahabat Keisha. Bola lampu yang tadinya tak bernyawa kini kembali memancarkan cahayanya. Diliriknya kalender mungil di atas meja rias yang menunjukkan tanggal 15 Maret, dan ia baru menyadari bahwa tujuh belas tahun silam seorang bayi mungil telah menghembuskan nafas pertamanya di dunia yang berbekal nama Al-Kisah Faradila.
            Keisha, begitulah orang di sekelilingnya menyapa. Setiap hari selalu ada tawa dan canda yang dihadiahkan gadis kecil itu pada dunia. Kehidupannya bagaikan permainan yang seolah-olah tak kan ada hentinya.
Mendapat perlakuan istimewa dari orang-orang di sekelilingnya itu sudah menjadi bumbu penyedap dalam hari-harinya. Hingga ia baru menyadari bahwa usianya saat ini bukanlah usia anak-anak lagi. Dirinya kini sudah menjadi remaja yang baru saja menapakkan kaki di kehidupan yang sebenarnya.
            Gadis itu kini memperdalam ilmunya di sebuah sekolah bonafite di daerah Bandung. Ia tinggal bersama neneknya di sebuah rumah sederhana yang rimbun dengan dedaunan beringin. Senyum semangat selalu terpancar darinya juga sinar matanya yang mampu mengalihkan pandangan orang yang melihat. Tak heran jika ia memiliki banyak sahabat.
***
            Guratan kegelapan malam tak menjadi penghalang pesta kecil yang diadakan oleh sahabat-sahabatnya, malam itu ia sangat bahagia. Namun, tiba-tiba ia menyadari ada suatu hal yang dirasanya kurang dalam acara tersebut.
“Adil mana ya???”, gumamnya dalam hati, matanya membelalak memenuhi seluruh ruangan, tetapi ia tetap tak melihatnya.
“Cari siapa Non???”, sahut salah seorang temannya.
Eh, Adil gak ikut ya??”, ia bertanya penuh dengan harapan.
            Wajah sahabat-sahabatnya terlihat gugup mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Keisha tersebut, karena memang tak seorangpun yang mengetahui keberadaan Adil pada dini hari itu.
 “Tengah malam gini ada apaan?, tega banget Adil lupa dengan ultah sahabatnya sendiri!”.
“Sudahlah Kei, jangan berburuk sangka dulu!, mungkin saja dia memang berhalangan datang”.
“Iya mungkin, tapi dia bener-bener tega, setidaknya SMS kenapa?, sekedar ngucapin selamat”.
“Yee, ngarep nih?!, ejek sahabatnya.
“ Eh, tapi aneh juga ya???, dia kan yang ngerencanain ini semua, malah dia yang nggak datang”, pikir salah satu sahabatnya yang lain.
“Hmmm… mungkin dia ingin membuat kejutan yang lebih besar Kei !!!”, sahut Naila untuk meredamkan amarah Keisha.
“mungkin juga sih…”.
“Udah ! udah !, kok jadi mikirin Adil terus, yang penting sekarang tiup lilin dulu, after that make a wish, OK..!.
Blackforest yang dikelilingi hamburan gula salju itu semakin menarik perhatian. Setelah make a wish Naila menganjurkan agar Keisha segera memotong tart tersebut. Namun Keisha tidak bersedia untuk melaksanakannya. Ia hanya akan memotog kue itu jika Adil datang, dan potongan pertama akan ia persembahkan untuk sahabat kecilnya, Adil.
“Lho Kei, mengapa kuenya nggak dipotong?”.
“Tidak, aku tidak akan memotongnya!”.
“Kenapa ? kamu nggak suka ya?”.
“aku suka, tapi maaf saat ini aku belum bisa memotongnya”.
            Sahabatnya hanya membisu mendengar ucapan Keisha, karena mereka juga ikut merasakan kekecewaan dalam hati gadis itu. Hingga mereka berempat tertidur di kamar Keisha.
“Kukuruyuk...!”, pekikan si jago mulai menyeruap ke telinga. Satu persatu dari mereka mulai bangun dan mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Keisha bergegas pergi ke sekolah, disahutnya segelas susu dan langsung menancapkan kaki di matic putih kesayangannya.
***
Di sepanjang perjalanannya menuju sekolah hanya Adil yang memenuhi pandangannya, hingga tiba di sekolahpun Adil yang menjadi prioritasnya hari itu. Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju kelas IX IA. Ia menghamburkan pandangannya ke seluruh sudut kelas, namun yang dicarinya tak terlihat. Ia lari menuju perpustakaan, barangkali Adil ada disana, pikirnya. Ia pun tetap tak menemukannya, hingga bel tanda jam pelajaran dimulai berdering membubarkan pikirannya.
Masa pencarian Adil berlanjut hingga tujuh hari pasca pesta kecil malam itu. Di hari ke delapan ia baru mengetahui keberadaan Adil.
“Ya Tuhan, benarkah ini Adil yang aku cari? Sahabat yang selalu menemani hariku?”, pekiknya dalam hati, ketika Naila menyodorkan selembar kertas putih yang berisikan alamat baru rumah Adil. Keisha begitu gembira hingga saat itu juga ia langsung memutuskan untuk pergi menemui Adil. Ia terus menancap gas maticnya itu, hingga ia berhenti di sudut kompleks rumah dinas yang bertuliskan B29.
“Ya, ini dia alamat baru Adil”,  spontan ia berteriak. Ia mencoba menekan bel rumah bercat ungu di salah satu ujung pagarnya.
“Selamat sore !”, terdengar suara seorang wanita tua menyapa.
“Selamat sore !, Apakah benar ini kediaman Malikul Adly El-Mulki?”.
“Ya benar, maaf anda siapa ya?”, tanya wanita tua itu.
“Saya Keisha sahabatnya, bisakah saya bertemu dengan Adil?”.
“Maaf Non, masuk dulu nanti saya panggilkan ibu!”.
Dengan segera Keisha masuk ke rumah itu, dan meminta Naila untuk segera mengeluarkan kardus putih berisi blackforest yang sudah mulai menjamur.
“Selamat sore !”, terdengar sahutan suara dari dalam.
“Selamat sore Tante !”.
“Kamu Keisha ya?”, tanya mama Adil.
“Benar Tante”, Keisha sedikit terheran, karena bagaimana bisa mama Adil mengetahui tentang dirinya, padahal ia belum pernah bertemu dengannya.
“Adil sering bercerita tentang kamu, mulai dari caramu berjalan, marah, hingga lesungmu yang keluar ketika kau mulai tersenyum nak”.
“Oh, begitu ya Tante, saya jadi malu, Adil memang berlebihan menilai saya, tapi sekarang Adil dimana ya Tante?”.
“Maaf Nak, kepergian Adil mendadak, ia juga belum sempat meminta maaf pada orang terdekatnya di sekolah, namun ia sempat menuliskan surat ini untukmu, bacalah !!!”, dengan memberi selembar kertas putih itu mama Adil mulai meneteskan air peluh yang terbendung di pelupuk mata.
 






                                                                                                                

            Tetes air mata mengucur dari mata indah Keisha, ia segera lari meninggalkan rumah Adil dengan membawa kardus putih itu. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah TPU di ujung perumahan. Tak henti-hentinya ia berharap semoga nama yang ia cari tak ada, hal ini berbeda dengan sepekan lalu, yakni harapannya ingin bertemu dengan orang yang ia cari. Namun kenyataannya berbeda, nisan yang tertancap pada tanah liat yang masih basah itu bertuliskan serangkai nama Malikul Adly El-Mulki.
Harapannya hampa, kue yang tadinya ia bawa untuk dipersembahkan pada Adil, kini hancur bersama derasnya air hujan yang mengguyur. Kakinya lemah, hingga ia terjatuh dan tersungkur di pemakaman sahabatnya. Namun harapan itu hampa, semua itu hanya kenangan lapuk yang tak mungkin terwujud. Hari-hari Keisha dipenuhi dengan amukan, setiap hari pecahan piring berserakan di rumahnya. Ia menghukum diri atas meninggalnya Adil, hingga neneknya memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit jiwa. Keisha hanya mengisi kehidupannya dengan kehampaan yang tiada habisnya.

0 komentar:

Posting Komentar

next more...

u're my inspiration

g